Diskriminasi dalam
Pasar Tenaga Kerja Lokal Akibat Masuknya Tenaga Kerja Asing di Provinsi
Sumatera Selatan
Oleh: Supiyandi
Abstrak
Keseimbangan
pasar tenaga kerja diasumsikan bahwa setiap pekerja mempunyai kemampuan, skil,
pendidikan, minat atas pekerjaan, produktivitas, dan informasi tentang pasar,
yang sama. Padahal setiap pekerja adalah unik dalam arti kata meskipun
mempunyai tingkat pendidikan yang sama akan tetapi memiliki minat atas
pekerjaan, kemampuan dan produktivitas, yang berbeda. Dalam praktik dilapangan
sering terjadi diskriminasi dalam pasar tenaga kerja seperti dalam penggajian,
akses terhadap pekerjaan, promosi, kondisi pekerja, dan upah, padahal mereka
mempunyai kemampuan, pendidikan dan pengalamana yang sama dengan kelompok yang
diperlakukan superior. Menurut data dari Dinas Ketenagakerjaan Provinsi
Sumatera Selatan terdapat 968 orang TKA
Legal yang 592 orangnya adalah dari Tiongkok. Selain itu terdapat 55 orang TKA
illegal. Upah yang diterima TKA di beberpa perusahaan hampir lima kali lipat dibanding
tenaga kerja lokal padahal produktivitas mereka sama. Telah terjadi
diskriminasi dalam pasar tenaga kerja yang dilakukan perusahaan. Bertambahnya
jumlah angkatan kerja yang berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja tidak
menutup kemungkinan akan terjadinya distorsi pasar tenaga kerja ditambah lagi
masuknya tenaga kerja asing yang masuk ke pasar tenaga kerja lokal di Sumatera
Selatan yang turut menambah persaingan. Distorsi bisa terjadiakibat adanya diskriminasi yang terjadi dalam pasar
tenaga kerja yang dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan pasar tenaga
kerja. Penelitian ini menggunakan metode deskriftif eksploratif dimana sumber
data diperoleh melalui sumber data sekunder.
Kata Kunci: diskriminasi, tenaga kerja
asing, pasar tenaga kerja
PENDAHULUAN
Berdasarkan
data yang dirilis badan pusat statistik Republik Indonesia, jumlah angkatan
kerja Indonesia pada tahun 2015 berjumlah 127 juta jiwa dan angka pengangguran
mencapai angka 7,2 juta jiwa. Beralih dari data ketenaga kerjaan, angka
kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi. Berdasarkan data BPS Republik
Indonesia sebanyak 28,02 juta penduduk Indonesia masih berada dibawah garis
kemiskinan. Hal ini diperparah lagi dengan berkembangnya isu masuknya tenaga
kerja asing illegal yang masuk ke Indonesia. Bagaimana tidak, disaat Indonesia
sedang menghadapi masalah penggangguran dan angka kemiskinan yang tinggi kini
dihadapi dengan masyarakat Indonesia harus bersaing dengan tenaga kerja asing
illegal yang masuk ke pasar tenaga kerja lokal di Indonesia. Selain itu
berdasarakn berita yang beredar di media, banyak terjadi dikriminasi dalam
pasar tenaga kerja baik itu karena suku, ras, dan agama. Parahnya lagi terjadi
diskriminasi masalah upah di pasar tenaga kerja.
Jumlah
angkatan kerja di Sumatera Selatan pada Februari 2016 mencapai 4.053.706 orang,
bertambah sekitar 35.844 orang dibanding angkatan kerja Februari 2015 yang
sebesar 4.017.862 orang atau bertambah 118.919 orang dibanding Agustus 2015
sebesar 3.934.787 orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Provinsi Sumatera
Selatan pada Februari 2016 mencapai 3.894.181 orang, bertambah sekitar 78.538
orang dibanding keadaan pada Februari 2015 yang sebesar 3.815.643 orang atau
bertambah sekitar 198.315 orang dibanding keadaan Agustus 2015 yang sebesar
3.695.866 orang. Selain dari tenaga kerja lokal, ikut berpartisipasi juga
tenaga kerja asing sebanyak 968 orang. Bertambahnya jumlah angkatan kerja yang
berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja tidak menutup kemungkinan akan
terjadinya distorsi pasar tenaga kerja ditambah lagi masuknya tenaga kerja
asing yang masuk ke pasar tenaga kerja lokal di Sumatera Selatan yang turut
menambah persaingan. Distorsi bisa terjadiakibat adanya diskriminasi yang terjadi dalam pasar
tenaga kerja yang dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan pasar tenaga
kerja. Yang menjadi permasalahan adalah apakah terjadi diskriminasi dalam pasar
tenaga kerja lokal setelah tenaga kerja asing masuk ke Sumatera Selatan?
TINJAUN PUSTAKA
Diskriminasi Dalam
Pasar Tenaga Kerja
Keseimbangan
pasar tenaga kerja diasumsikan bahwa setiap pekerja mempunyai kemampuan, skil,
pendidikan, minat atas pekerjaan, produktivitas, dan informasi tentang pasar,
yang sama. Padahal setiap pekerja adalah unik dalam arti kata meskipun
mempunyai tingkat pendidikan yang sama akan tetapi memiliki minat atas
pekerjaan, kemampuan dan produktivitas, yang berbeda. Atau ada pula pekerja
memiliki produktivitas yang sama tetapi berbeda ras, agama, gender dan kelompok (mayoritas dan
minoritas). Perlakuan yang diskriminatif terhadap pekerja yang muncul dari
prasangka (prejudice), dan dari
pelanggan (customer). Ini menunjukkan
akar permasalahan diskriminasi bermacam-macam dn kompleks. Perlakuan
diskriminatif juga disebabkan informasi yang diterima tidak sempurna sehingga
menyebabkan produktivitas antar kelompok berbeda. Berbagai permasalahan
diskriminatif diatas akan mempengaruhi keseimbangan pasar tenaga kerja.
Perdefinisi
diskriminasi adalah ketika sekelompok pekerja diperlakukan secara inferior
dalam hal penggajian, akses terhadap pekerjaan, promosi, kondisi pekerja, dan
upah, padahal mereka mempunyai kemampuan, pendidikan, pengalaman pekerjaan yang
sama dengan kelompok yang diperlakukan secara superior (Tarmizi:2013:141).
Menurut Nurlina Tarmizi ada empat tipe diskriminasi pada pasar tenaga kerja,
yaitu (1) diskriminasi upah (wage
discrimination), diskriminasi upah terjadi ketika perbedaan upah didasarkan
atas pertimbangan lain dari pada produktivitas. (2) Diskriminasi pekerja (employment discrimination) terjadi ketika
tugas kepada kelompok minoritas (wanita) tidak sepadan dengan tugas kelompok
mayoritas. (3) diskriminasi dalam
pekerjaan dan job (occupational or job
discrimination) dimana satu kelompok dibatasi atau dihalangi untuk masuk
pekerjaan tertentu, padahal mereka cukup capable seperti kelompok lainnya. (4)
Diskriminasi dalam mutu modal manusia (human
capital discrimination) terjadi karena kelompok tertentu kurang meperoleh
akses untuk meningkatkan produktivitasnya seperti pendidikan formal atau on the job training. Tiga tipe
diskriminasi pertama seringkali dinyatakan sebagai postmarket discrimination (disebut current atau direct
discrimination). Diskriminasi ini terjadi terjadi setelah mereka sudah
masuk ke pasasr tenaga kerja. Jika ini terjadi akan menyebabkan rate of return dari investasi pendidikan
dan pelatihan, rendah. Tipe keempat, disebut sebagai premarket discrimination (past atau indirect discrimination) terjadi sebelum mereka mencari pekerjaan.
Karena itu, sebelum masuk pasar tenaga kerja perlu persiapan yang memadai untuk
masuk ke banyak jenis pekerjaan ddengan demikian diharapkan tidak terjadi postmarket discrimination.
Ada
beberapa teori diskriminasi, yaitu the
taste for discrimination model. Model ini disebabkan adanya personal prejudice (prasangka individu)
terhadap kelompok lain yang muncul dari pengusaha (prejudice by employers), atau dari pekerja (prejudice by workers) dana tau dari pelanggan (prejudice by customers). Kedua, the monopsony model atau market
power model, yang bersumber dari peeusahaan dan bersumber dari serikat
pekerja. Model diskriminasi ini akan membayar satu kelompok dengan upah yang
lebih tinggi dari kelompok lainnya. Ketiga, statistical
discrimination dan the crowding model
adalah diskkriminasi yang disebabkan informasi yang tidak akurat dan ini akan
berakibat terjadinya unequal productivity.
Dalam model statistic discrimination,
pengusaha seringkli keliru menilai individu berdasarkan karaktristik rata-rata
kelompok padahal karakteristik individu adalah lebih baik. sedangkan pada the crowding model memperlihatkan bahwa
wanita dan kelompok minoritas berkumpul (crowded)
pada pekerjaan dengan upah rendah bukan pada pekerjaan dengan pembayaran upah
tinggi.
a a)
Diskriminasi
pengusaha
Pengusaha
melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas tetapi tidak kepada
pelanggan dan pekerja dari kelompok mereka. Pengusaha dengan taste for discrimination melakukan
diskriminasi dalam hal pengupahan, membayar satu kelompok dengan upah tinggi sementara
kelompok minoritas dengan upah rendah padahal mempunyai kemampuan yang sama.
Hal ini akan berakibat produktivitas dari kelompok minoritas pada periode
selanjutnya akan menjadi lebih rendah dari sebelumnya.
Diasumsikan,
kelompok mayoritas dan minoritas sama-sama produktif, kelompok yang satu
merupakan perfect substitute kelompok
lainnya dan karena itu pengusaha tidak dapat melakukan diskriminasi antar kedua
kelompok tersebut. Tetapi bila pengusaha berprasangka buruk terhadap kelompok
minoritas maka akan menyebabkan situasi berubah secara signifikan. Prasangka
dari pengusaha akan menimbulakan biaya psikis Psychic cost). Biaya psikis disebut sebagai discrimination coefficient d, yang dapat dinilai dengan uang (monetary terms).
b b)
Diskriminasi
pekerja
Employment
discrimination bersumber dari prasangka pekerja
kelompok mayoritas. Ada motif kuat yang menyebabkan kelompok mayoritas berburuk
sangka terhadap kelompok minoritas, yaitu berawal dari ketidaksukaan pengusaha
bila ada kontak antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Keadaan
ini akan menyebabkan hubungan antar kelompok menjadi kurang dan bahkan jarang
terjadi. Prasangka antar kelompok pekerja dipicu perbedaan ras, jenis kelamin,
atau etnis dan inni akan menimbulakan kompetisi dan terputusnya kontak satu
sama lain.
c c)
Diskriminasi
pelanggan
Salah
satu sumber diskriminasi adalah prasangka pelanggan (customer discrimination), yang menyebabkan akan terjadi perbedaan
upah antara kelompok mayoritas dan
minoritas. Jika pekerja kelompok minoritas dipekerjakan pada pekerjaan yang
memerlukan hubungan dengan pelanggan kelompok mayoritas, mereka harus mau
bekerja pada upah yang lebih rendah dari pekerjakelompok mayoritas. Alasannya,
nilai mereka untuk perusahaan adalah rendah, perusahaan memperoleh keuntungan
sebab perusahaan memperoleh harga yang lebih rendah untuk menghasilkan barang
yang sama dibandigkan jika dihasilkan oleh pekerja kelompok mayoritas.
Perbedaan harga ini merupakan kompensasi ketidaksukaan pelanggan.
Kekuatan Pasar
a a) Monopsonistic
Discrimination
Pada
awalnya monopsonistic discrimination terjadi
karena adanya perbedaan upah berdasarkan jenis kelamin yang dilakukan
perusahaan. Monopsony membayar upah
dibawah upah persaingan sempurna dan membedakan upah antar pekerja, sebagaian
besar pekerja dibayar dengan upah rendah, dan dengan cara ini perusahaan akan
dapat meningkatkan laba. Untuk dapat terjadi monopsonistic discrimination, dua kondisi harus dipenuhi. Pertama,
penawaran tenaga kerja dari kedua kelompok harus dipisahkan, misalnya
dipisahkan menurut ras atau menurut jenis kelamin. Kedua, elastisitas penawaran
tenaga kerja antara dua kelompok harus berbeda.
b b)
Diskriminasi
oleh Serikat Pekerja
Serikat
kerja juga dapat merupakan sumber utama diskriminasin (discrimination by unions). Contoh: serikat kerja yang rasial (union’s racial). Contoh lainnya
kebijakan gender, yang seringkali
menentukan struktur organisasi, dimana wanita diposisikan pada level rendah.
Serikat
kerja dalam industry sangat progresif pada isu-isu yang berhubungan dengan
pekerja, namun disisi lain, lemah dalam hal mengawasi dan mempengaruhi
pembayaran upah yang berbeda diantara kelompok. Jika serikat kerja efektiif,
mereka dapat menerapkan kebijakan non diskriminatif bagi setiap kelompok untuk
dapat menjamin kekuatan bargaining
position. Diskriminasi dibentuk lewat system senioritas dan sistem ini
dapat memblokir kemajuan dari kelompok minoritas.
METODOLOGI PENELITIAN
Dengan rumusan masalah yang telah tersusun,
penulis menggunakan pendekatan penelitian secara kualitatif untuk mendapatkan
jenis data yang bersifat deskriptif. Lalu, penulis berusaha melakukan
eksplorasi data guna menjawab apakah ada diskriminasi dalam pasar tenaga kerja di
Sumatera Selatan.
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam
karya tulis ini adalah jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang
diperoleh dari orang kedua yaitu melalui buku, jurnal, tesis, majalah, artikel
yang berkaitan dengan karya tulis ini.
Dalam membuat karya tulis ini, penulis
mengumpulkan data-data melalui studi pustaka. Studi pustaka yaitu dengan
membaca literatur-literatur yang berkaitan serta menunjang penulisan karya
tulis ini, baik berupa pustaka cetak maupun data-data dari internet, sehingga
dari sinilah sumber informasi data sekunder diperoleh oleh penulis.
Penulis dalam menganalisa data-data yang
diperoleh melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan (Miles dan Huberman 2007).
PEMBAHASAN
Keadaan TKA di Provinsi
Sumatera Selatan
Menurut
data dari Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sumatera Selatan terdapat 968 orang TKA Legal yang 592 orangnya adalah
dari Tiongkok. Menurut undangan-undang nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
pasal 42 ayat 1 “setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing
wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk”. Berdasarkan
pasal 39 ayat 1 Undang-Undang nomor 13 tahun 2013 “Pemerintah bertanggung jawab
mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja”. Dalam pelaksanaannya setiap perekrutan satu orang tenaga kerja asing
maka harus merekrut 10 orang tenaga kerja lokal. Hal ini sesuai dengan prinsip pro job dalam perekonomian. Berdasarkan
data dari Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sumatera Selatan yang dipaparkan pada
seminar Sriwijaya Public Discussion (SPD)
di Universitas Sriwijaya pada tanggal 24 Februari 2017 terdapat 55 orang
tenaga kerja asing illegal di Sumatera Selatan, 44 orang TKA illegal di
Kabupaten Muara Enim dan 11 orang TKA illegal di kota Palembang.
Dalam Mutual
Recognition Arrangement (MRA)
disepakati bahwa tenaga kerja asing (TKA) yang bebas bekerja di negara-negara
ASEAN hanya lah mencakup delapan sektor, yaitu akuntansi, teknik, survei, arsitektur, keperawatan, kesehatan,
perawatan gigi, dan pariwisata.
Diskriminasi Dalam
Pasar Tenaga Kerja
Diskriminasi
dalam pasar tenaga kerja adalah ketika sekelompok pekerja diperlakukan secara
inferior dalam hal penggajian, akses terhadap pekerjaan, promosi, kondisi
pekerja, dan upah, padahal mereka mempunyai kemampuan, pendidikan, pengalaman
pekerjaan yang sama dengan kelompok yang diperlakukan secara superior
(Tarmizi:2013:141). Menurut Nurlina Tarmizi ada empat tipe diskriminasi pada
pasar tenaga kerja, yaitu (1) diskriminasi upah (wage discrimination), diskriminasi upah terjadi ketika perbedaan
upah didasarkan atas pertimbangan lain dari pada produktivitas. (2)
Diskriminasi pekerja (employment
discrimination) terjadi ketika tugas kepada kelompok minoritas (wanita)
tidak sepadan dengan tugas kelompok mayoritas.
(3) diskriminasi dalam pekerjaan dan job
(occupational or job discrimination) dimana satu kelompok dibatasi atau
dihalangi untuk masuk pekerjaan tertentu, padahal mereka cukup capable seperti
kelompok lainnya. (4) Diskriminasi dalam mutu modal manusia (human capital discrimination) terjadi
karena kelompok tertentu kurang meperoleh akses untuk meningkatkan
produktivitasnya seperti pendidikan formal atau on the job training. Tiga tipe diskriminasi pertama seringkali
dinyatakan sebagai postmarket
discrimination (disebut current atau
direct discrimination). Diskriminasi
ini terjadi terjadi setelah mereka sudah masuk ke pasasr tenaga kerja. Jika ini
terjadi akan menyebabkan rate of return dari
investasi pendidikan dan pelatihan, rendah. Tipe keempat, disebut sebagai premarket discrimination (past atau indirect discrimination) terjadi sebelum
mereka mencari pekerjaan. Karena itu, sebelum masuk pasar tenaga kerja perlu
persiapan yang memadai untuk masuk ke banyak jenis pekerjaan dengan demikian
diharapkan tidak terjadi postmarket
discrimination.
Dinasa
Ketenagakerjaan menyampaikan pada Sriwijaya
Public Discussion di Universitas Sriwijaya pada 24 Februari 2017 bahwa
rata-rata gaji yang diterima oleh TKA adalah Rp8 juta per bulan sedangkan
tenaga kerja lokal hanya UMR. Data ini juga dikung dari berita yang
dipublikasikan oleh media elektronik Sumatera Exspres bahwa tenaga kerja lokal
di kabupaten OKI mengeluh soal gaji yang diberikan kepada tenaga kerja asing
lebih besar yaitu Rp550.000,- per hari dan tenaga kerja lokal hanya Rp180.000,-
per hari padahal produktivitas kerjanya sama saja. Selain masalah gaji diatas
perusahaan juga menyalahi regulasi yang telah ditetapkan oleh Kementrian
Ketenagakerjaan, yaitu berdasarkan Mutual Recognition Arrangement (MRA) disepakati bahwa tenaga kerja asing
(TKA) yang bebas bekerja di negara-negara ASEAN hanyalah mencakup delapan
sektor, yaitu akuntansi, teknik, survei, arsitektur, keperawatan, kesehatan,
perawatan gigi, dan pariwisata. Namun
yang terjadi adalah para TKA bahkan bekerja sebagai buru kasar di
perusahan-perusahan lokal di Sumatera Selatan.
Dari beberapa data diatas dapat dikatakan telah
terjadi diskriminasi terhadap tenaga kerja. Yang paling terlihat adalah
diskirminasi upah yang dilakukan oleh pengusaha. Ini tidak baik karena bisa
menyebabkan ketidakseimbangan pasar tenaga kerja. Para pekerja lokal tentu
merasa dirugikan atas tindakan perusahaan yang mengistimewakan TKA dibandingkan
tenga kerja lokal padahal produktivitas dan kinerja mereka dilapangan sama.
Perusaahaan (pengusaaha) telah melakukan tindakan diskriminasi dalam bentuk
prasangka pribadi (personal prejudice).
Pengusaha dengan taste
for discrimination melakukan diskriminasi dalam hal pengupahan, membayar
satu kelompok dengan upah tinggi sementara kelompok minoritas dengan upah
rendah padahal mempunyai kemampuan yang sama. Hal ini akan berakibat
produktivitas dari kelompok minoritas pada periode selanjutnya akan menjadi
lebih rendah dari sebelumnya.
Diasumsikan,
kelompok mayoritas dan minoritas sama-sama produktif, kelompok yang satu
merupakan perfect substitute kelompok
lainnya dan karena itu pengusaha tidak dapat melakukan diskriminasi antar kedua
kelompok tersebut. Tetapi bila pengusaha berprasangka buruk terhadap kelompok
minoritas maka akan menyebabkan situasi berubah secara signifikan. Prasangka
dari pengusaha akan menimbulakan biaya psikis Psychic cost). Biaya psikis disebut sebagai discrimination coefficient d, yang dapat dinilai dengan uang (monetary terms).
KESIMPULAN
Diskriminasi
dalam pasar tenaga kerja adalah ketika sekelompok pekerja diperlakukan secara
inferior dalam hal penggajian, akses terhadap pekerjaan, promosi, kondisi
pekerja, dan upah, padahal mereka mempunyai kemampuan, pendidikan, pengalaman
pekerjaan yang sama dengan kelompok yang diperlakukan secara superior. Telah
terjadi diskriminasi pasar tenaga kerja
di beberapa perusahaan di Sumaterea Sselatan berupa diskriminasi upah atas
prasangka pribadi pengusaha (personal
prejudice).
Rekomendasi:
1 1. Harus
ada regulasi gaji yang kompetitif antara TKA dan TK lokal yang bekerja baik di
Sumatera Selatan khusunya maupun di Indonesia pada umumnya.
2 2. Harus
ada koordinasi antara dinas ketenagakerjaan dengan SPSI agar buruh juga
berperan mengendalikan diskriminasi tenaga kerja.
3 3. Pemerintah
membentuk tim pengawas perusahaan untuk memantau apakah ada diskriminasi terhadap
tenaga kerja atau tidak dan juga untuk memantau terhadap ancaman kedulatan
negara dari tenaga kerja asing.
4 4. Perusahaan
dan pemerinntah kususnya dinas ketenagakerjaan harus transparan dalam
melaporkan data terkait ketenagakerjaan.
5 5. Harus
ada sanksi tegas kepada perusahaan yang terbukti mempekerjakan TKA illegal
sesuai dengan pasal 185 undang-undang nomor 13 tahun 2003.
REFERENSI
BPS
Provinsi Sumatera Selatan. 2016. Berita Resmi Statistik No. 29 /05/16/Th. XVIII, 04 Mei 2016 Keadaan Ketenagakerjaan Prov Sumsel Februari 2016.
Palembang: BPS Sumsel
Borjas,
George J. 2013. Labor Economic Six Edition. New York, USA: McGraw Hill Irvin
Miles, Mattew B dan A Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-metode
Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Sumaeatera Ekspres. 2017. Tuntut PHK
TKA Ilegal dan Buruh Kasar (http://sumeks.co.id/index.php/sumeks/update-terkini/26865-tuntut-phk-tka-ilegal-dan-buruh-kasar
diakses pada 11 Maret 2017)
Sumatera
Ekspres. 2017. Buruh TKA di Bayar Mahal.
(http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/update-terkini/28338-buruh-tka-dibayar-mahal
diakses pada 11 Februari 2017)
Tarmizi
Nurlina. 2013. Ekonomi Ketenagakerjaan. Palembang: Unsri Press
Undang –undang Republik Indonesia nomor 13 tahun
20013