Kamis, 24 Desember 2015

MEMAHAMI ARTI KATA RABBANI



MEMAHAMI ARTI KATA RABBANI
Oleh : Jabbar Sambudi ll Presnas FoSSEI ll Executive Program Baitulmal Tazkia

ekonom-rabbani2
Allah telah berfirman dalam salah saty ayat-Nya, tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dalam ayat tersebut Allah menyebut kata ‘rabbani’, lantas apa makna kata tersebut? Penjelasan kata robbani dapat ditelusuri dalam Ilmu Tafsir Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari. Beliau menjelaskan bahwa seorang yang Robbani harus memiliki 5 hal.
1.    ‘Alim dan Mutsaqqaf
Seorang Robbani haruslah seorang yang berilmu dan berwawasan. Ada semangat belajar yang kuat di dalam dirinya. Ia akan dapat tergerak dengan asma Allah lalu mensyiarkannya. Seorang Robbani tidak hanya akan pandai untuk dirinya seorang, namun juga dapat memandaikan orang. Tidak hanya bergerak dalam keilmuan, namun juga menggerakkan. Tidak hanya hidup dalam keilmuan, namun juga menghidupi. Tidak hanya berjuang dalam keilmuan, namun juga memperjuangkan.

Lantas, ilmu apa yang wajib dipelajari? Ilmu Allah. Soal dikotomi duniawi ukhrawi, Imam Ghazali berpendapat, “Boleh jadi fiqh itu ilmu duniawi. Dan boleh jadi kedokteran dan ilmu pertekstilan adalah ilmu akhirat.”
Bagaimana logikanya? Mungkin memperhatikan kondisi zamannya, Al Ghazali mengambil contoh pembahasan tentang zhihar. Ketika seorang suami mengucapkan “Engkau bagiku seperti punggung ibuku!” pada istrinya. Di masa jahiliah status istri menjadi tidak jelas. Tapi di masa Islam, zhihar jelas ketentuannya di QS Al-Mujadilah. Pembahasan berpelik-pelik, kalau begini, kalau begitu, yang dilakukan para ahli fiqh di masa itu bagi Al Ghazali hanyalah untuk mencari keuntungan duniawi.
Tetapi sebaliknuya, beliau melihat bertapa minimnya dokter Muslim saat itu. Sehingga ketika seseorang berpenyakit pencernaan sementara esok hari bulan Ramadhan tiba, kaum Muslimin beramai-ramai meminta fatwa pada dokter Yahudi dan Nashrani. Ini ilmu akhirat, jangan sampai diserahkan pada seorang yang bukan Muslim.
Nah demikian juga ilmu tekstil. Jika menutup auratnya seorang Muslim menyerahkan jenis kain, model jahitan, dan trendnya pada yang bukan Muslim hingga aurat tat tertutup sempurna, siapa yang berdosa? Semua.
Berkorelasi juga dengan ilmu ekonomi. Jika semua orang melakukan transaksi dengan unsur ribawi, unsur gharar, dan unsur-unsur lain yang tidak dibolehkan dalam Islam, lantas wajibkah belajar ilmu ekonomi? Jika banyak orang pintar di dalam bidang ekonomi kemudian memaksakan sistem yang tidak Islami dalam bidang ekonomi, lantas siapakah yang salah? Semua.
2.    Faqih
Apa bedanya ‘Alim dengan Faqih? Dalam kata-kata Imam Asy Syafi’I, “Kalian, para ahli hadits, adalah apoteker. Kami, para ahli fiqh, adalah dokter.” Apoteker mempunyai ilmu tentang obat, tetapi tidak memahami kondisi pasien. Dan oleh karena itu, dia tidak memiliki otoritas menentukan terapi bagi kesembuhan mereka. Demikian pula bagi Imam Asy Syafi’I, berpegang hanya pada teks seperti lazimnya Ahli Hadits berbuat akan membuat repot pasien, yakni ummat.
Diperlukan seorang dokter, seorang Faqih, yang dengan keluasan waswasan dan pemahaman kondisi, mengetahui seluk-beluk organ dan interaksi kimianya, bias merumuskan satu resep, satu fatwa yang tepat. Diperlukan kolaborasi antara ‘Alim dan Faqih dalam memecahkan permasalahan umat. Perlu orang ‘Alim dalam bidang ekonomi serta orang Faqih dalam bidang ekonomi.
Seorang yang Robbani, mencoba untuk melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak terucapkan, dan menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linier. Seorang ‘Alim mungkin saja lahir dari ruang berisi buku-buku, tetapi seorang Faqih muncul di tengah orang ramai yang menghadapi banyak persoalan.
3.    Al Bashirah bis Siyasah
Seorang Robbani, memiliki kedalaman pandangan tentang politik. Politik Islam adalah seni mengelola urusan publik agar manusia merasa indah beribadah dan mampu menjadikan setiap aktivitas mereka sebagai ibadah. Dia mampu mengelola sebuah kebijakan yang membuat orang kaya merasa terjamin hartanya dan gembira menunaikan kewajibannya. Kebijakan itu membuat orang miskin merasa tenteram sekaligus bersemangat dalam etos kerja.
Seorang Ekonom Robbani, juga harus dapat memadukan antara pengetahun ekonomi dengan kedalaman politik. Mampu mengolaborasikannya dengan harmonis, dan mampu mementingkan kepentingan umat daripada kepentingan pribadi ataupun golongan.
4.    Al Bashirarh bit Tadbir
Serang yang Robbani juga memiliki kedalaman pandangan dalam hal manajemen. Dia mempunyai visi yang kuat, atau biasa dibilang dengan seorang yang visioner. Dia tahu bagaimana menempatkan suatu sumber daya pada posisi yang tepat. Didasari hal inilah, mungkin Rasulullah tidak pernah mengangkat Umar ibn Al Khattab menjadi komandan satuan pasukan besar. Bukan dia tak mampu. Tetapi model seperti Umar akan mementingkan mencari kematian syahadah daripada kemenangan pasukan yang dipimpinnya.
Khalid bin Walid berbeda. Saat dipecat dari kedudukan sebagai panglima ia berujar, “Kini aku bebas mencari kematian. Kemarin ketika menjadi panglima, tentu kupikirkan pasukanku. Kini aku berpikir tentang diriku sendiri, dan ia merindukan surga.” Kalau bukan karena dia panglima, Khalid mungkin tidak perlu mematahkan sampai 13 bilah pedang dalam perang Mut’ah.

Demikian juga, pandangan tajam manajerial Nabi membuat beliau langusng menunjuk ‘Amr bin Al ‘Ash beberapa saat sesudah dia masuk Islam untuk menjadi komandan satuan yang di dalamnya bergabung para sahabat senior termasuk Abu Bakr dan Umar. Malamnya, saat mereka berkemah, tiba-tiba Amr memerintahkan semua memadamkan api.
Umar tersinggung. Terlihat olehnya pasukan itu kedinginan, dan beberapa yang lain sedang memasak makanan. “Tidak, jangan matikan apinya!”, seru Umar. Abu Bakr yang ada di sampingnya langsung menegur, “Wahai Umar, dia pemimpin yang ditunjuk Rasulullah untuk kita. Taatlah pada Allah, RasulNya, dan pemimpinmu!” Umar masih menggerutu. Tetapi beberapa saat kemudian dia menuyadari Amr benar. Bunyi ringkik dan tapak kaki kuda patroli musuh, ratusan agaknya, terdengan begitu mengerikan. Tetapi kafilah patrol itu lewat saja. Maka Abu Bakr pun tersenyum padanya.
Hari berikutnya, Amr memerintahkan pasukannya berhenti di luar pekampungan kabilah yang akan diserang. “Aku akan masuk. Jika aku tak kembali hingga mentari tergelincir, kalian serbulah ke dalam!” Umar protes lagi. “Jika kau ingin syahid, kami semua juga! Tetaplah kita bersama!” Dengan lirikan, kembali Abu Bakr mengingatkan Umar. Dan Umar pun patuh. Beberapa waktu kemudian, Amr telah kembali bersama pemimpin kabilah yang telah masuk Islam bersama pengikutnya, atas diplomasi Amr. Kabilah itu tunduk, tanpa setetes darah pun tertumpah. Seandainya jadi Abu Bakr mungkin saat itu kita akan berkata pada Umar, “Nah. Gua bilang juga apa?”
5.    Al Qiyam bis Su-nir Rai’yah li Mashlahatid Dunya wa Diin
Poin ini adalah implementasi dari poin ketiga dan keempat. Kata kuncinya adalah kepedulian kepada kepentingan publik. Seorang yang Robbani memiliki peran dalam menegakkan kepentingan masyarakat banyak dalam kerangka kebaikan dunia dan agama. Ada advokasi, ada penyantunan, ada pelayanan, ada peningkatan kesejahteraan, dan ada kebijakan yang membuka peluang-peluang kebaikan.
Tidak hanya kepentingan pribadi yang didahulukan, melainkan mementingkan kepentingan bersama untuk kemashlahatan dunia dan akhirat. Seorang Robbani akan terus melakukan amal jama’i atau kerja sama dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Itulah orang-orang Robbani yg tergambar dalam Q.S Al-Hajj: 41 (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Sudahkah kita menjadi seorang yang Rabbani…?

Wallahu A’lam

URGENSI KELOMPOK STUDI EKONOMI ISLAM



URGENSI KELOMPOK STUDI EKONOMI ISLAM
Oleh :Jabbar Sambudi ll Presnas FoSSEI


“Seperti halnya perintah Allah swt kepada Nabi Muhammad dalam wahyu yang dibawakan Jibril, “Iqra!.” Bacalah! Seru Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. “Sungguh aku tidak mampu membacanya.” Begitu jawaban Sang Nabi. Dan percakapan tersebut berulang hingga 3 kali sampai Jibril as berseru kepada Nabi Muhammad saw, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu.” Dan kisah ini telah diabadikan oleh Allah dalam Q.S Al-‘Alaq: 1-5.”

Perintah Allah yang pertama adalah seruan untuk membaca. Jika diperluas, bahwa seruan pertama agar manusia dapat berpikir. Membaca fenomena alam, membaca kekuasaan Allah dengan cara berpikir. Itulah tugas pertama umat manusia dilahirkan di muka bumi, untuk membaca dan berpikir. Karena dengan berpikir inilah Nabi Ibrahim menemukan kebenaran. Nabi Ibrahim mengira bahwa Bulan adalah Tuhannya, namun ternyata masih ada cahaya yang lebih daripada bulan. Nabi Ibrahim mengira bahwa Matahari adalah Tuhannya, namun ternyata Matahari terbit dan terbenam. Kemudian Nabi Ibrahim bertafakkur, bahwa Tuhannya adalah Dzat yang menciptakan Bulan dan Matahari.
Jadi, sebelum beribadah dan menjadi khalifatullah, manusia diseru untuk berpikir agar dapat membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Dengan demikian manusia dapat beribadah dan menjadi khalifatullah seutuhnya. Bukan menuhankan pikiran dan akal, namun mengomparasi antara akal dan ayatullah untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Demikianlah perintah “Iqra!” yang ditujukan kepada manusia.
Dalam konteks Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI), perintah “Iqra!” ini juga harus diejawantahkan. Dengan membaca dan berpikirlah kita dapat membedakan haq dan bathil. Maka, Ruh dari sebuah KSEI adalah KAJIAN. Kenapa dengan kajian? Ya karena dengan kajian, kita ‘dipaksa’ untuk membaca, ‘dipaksa’ untuk berdiskusi, dan ‘dipaksa’ untuk menulis.
Runtutnya adalah demikian, kita banyak membaca, dari hasil bacaan kemudian didiskusikan, dan hasil diskusi kemudian ditulis ulang. Demikianlah yang dimaksud dengan kajian. Kajian bukan berarti hanya ‘mendengarkan’ orang yang berbicara dalam sebuah kegiatan yang kita sebut dengan kajian. Itu namanya mendengarkan ceramah bukan mengkaji. Mengkaji itu ketika kita sudah dapat ilmunya dari buku-buku, kemudian didiskusikan dalam sebuah kegiatan, dan lebih baiknya lagi adalah menulis kembali.
Setiap orang itu mempunyai kaliber. Ada yang kalibernya tingkat internasional, nasional, provinsi, kabupaten, atau bahkan kalibernya cuma desa. Kalau kita sebut (alm) Wahbah Zuhaili, kita semuanya tentu tahu siapa beliau, nah kaliber beliau ini berarti sudah internasional. Kalau kita sebut Adiwarman Karim, kita di Indonesia pasti juga tahu, nah berarti kaliber beliau itu sudah menasional. Dan setiap orang mempunyai masing-masing kaliber. Kaliber itu ditentukan atas 3 hal: pengalaman, pengetahuan, dan wawasan. Semakin banyak pengalaman, pengetahuan dan wawasan, maka kaliber seseorang juga semakin besar.
Pengetahuan itu didapat dari membaca, diskusi dan menulis. Maka, ayo kita perbanyak membaca, diskusi dan menulis. Dan ketiga hal tersebut terhimpun dalam satu kata, yaitu “mengkaji” alias melakukan “kajian.” Itu kita baru berbicara satu aspek, pengetahuan. Dan pengetahuan tidak hanya didapat dari bangku kelas, banyak pengetahuan yang kita dapatkan di luar kelas. Itulah fungsi KSEI, menambah pengetahuan kader-kadernya.
Kembali ke topik utama, Ruh dari sebuah KSEI adalah kajian. Ketika sebuah KSEI tidak ada kajian, maka berarti KSEI tersebut telah kehilangan ruhnya. Maka himbauannya, minimal sepekan sekali KSEI harus melakukan kajian. Pengurus di top management harus memberikan contoh dengan banyak membaca, yang kemudian selanjutnya dapat menghimbau pengurus yang lain untuk banyak membaca. Selanjutnya, lakukan diskusi secara berkala. Nah, jika sepekan sekali dilaksanakan yang demikian, KSEI tersebut dapat berkualits, Sumber Daya Insani juga dapat berkualitas, dan secara makro kita mendorong Indonesia juga berkualitas. Sekali lagi, ruh dari sebuah KSEI adalah kajian.
Jangan diperbanyak agenda yang sifatnya extravaganza. Bagaiman itu? KSEI membuat seminar nasional atau internasional, tapi panitia yang membuatnya malah ga tahu apa yang dibicarakan oleh pembicara. Coba kita rubah mindset, jika indikator suksesnya seminar adalah banyaknya peserta dan lancaranya acara, bagaimana jika indikator suksesnya seminar adalah lebih mengertinya panitia dan peserta tentang isi seminar? Rubah mindset, dan jadilah orang yang berkualitas.
Ini bukan berarti melarang membuat seminar, bukan itu point utamanya. Tapi rubahlah mindset, dan mengertilah tentang arti dari sebuah seminar tersebut. Hanya orang penting yang tahu akan kepentingan, dan hanya pejuang yang tahu makna sebuah perjuangan. Jadi, cukupkan agenda yang sifatnya extravaganza, dan kembalikan kepada hal yang fundamental.
Ingat! Organisasi kita itu namanya Kelompok Studi Ekonomi Islam. Dan seharusnya, nama organisasi itu mencerminkan rentetan program organisasi tersebut. Maka, memang dan sudah menjadi sebuah keharusan bahwa agenda utama KSEI adalah studi, alias belajar atau kajian. Jadi, jika kegiatan utamanya (kajian) tidak ada, maka silahkan rubah nama saja.
Selanjutnya, dalam merespon sebuah isu, terdapat dua pendekatan, yaitu direct dan indirect. Direct adalah pendekatan secara langsung, sedangkan indirect adalah pendekatan secara tidak langsung. Isu yang sedang hangat sekarang misalnya adalah kasus freeport. KSEI harus merespon isu tersebut secara direct atau langsung. Pendekatan secara direct dilakukan dengan membentuk kajian tentang freeport, menulis opini tentang freeport, melakukan diskusi tentang freeport, dan semuanya dikupas tuntas dalam tajuk kajian.
Pendekatan kedua adalah dengan cara indirect atau tidak langsung. Dalam merespon isu freeport ini dapat dilaksanakan dengan membangun sistem kaderisasi yang baik. Inti dari kaderisasi adalah melahirkan kader-kader yang militan dan berkualitas. Jika sistem kaderisasinya baik, maka kita sudah menyiapkan manusia-manusia yang berkualitas untuk 10-30 tahun yang akan datang. Dengan manusia yang berkualitas, maka dapat dipastikan, masalah layaknya freeport tidak akan terulang kembali. Demikianlah urgentnya sebuah sistem kaderisasi yang baik.
Kaderisasi ini dibentuk agar para kader mempunyai jiwa kepemimpinan yang mumpuni, mempunyai karakter yang unggul, dan mempunyai militan yang kuat terhadap nilai-nilai agama Islam. Dan kawah pembentukan Sumber Daya Insani yang unggul itulah berada pada tugas kaderisasi. Kebenaran yang tidak sistemiik, akan dapat dikalahkan oleh kebathilan yang sistemik.
Simpelnya, urgensi dari Kelompok Studi Ekonomi Islam adalah kajian dan kaderisasi. Kedua hal tersebut adalah komponen utama dalam merespon isu yang berkembang. Jika asumsi kader FoSSEI setiap tahunnya adalah 1.500 orang, dengan kajian dan kaderisasi yang baik, maka kita sudah menyiapkan generasi-generasi yang militan yang siap membumikan ekonomi Islam.
Jadilah lidi-lidi perjuangan yang kuat. KSEI ibarat sebuah lidi. Jika lidi tersebut rapuh, maka bagaimana kita dapat menyapu kebathilan di halaman rumah kita? Maka, dibutuhkan tidak hanya satu lidi yang kuat, namun juga dibutuhkan puluhan hingga ratusan lidi yang kuat. Dan lidi tersebut tidaklah berguna jiika bekerja sendirian, dibutuhkan kerja sama dalam konteks amal jamai. Itulah fungsi FoSSEI, mengikat lidi-lidi yang kuat dalam satu ikatan, bersama-sama berjuang dalam membersihkan kebathilan yang ada. “Al Haqqu min Rabbika, fa laa takunanna minal mumtariin.”
Wallahu A’lam