MEMAHAMI ARTI KATA RABBANI
Oleh : Jabbar Sambudi ll Presnas FoSSEI ll
Executive Program Baitulmal Tazkia
Allah telah berfirman dalam salah
saty ayat-Nya, tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya
Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia
berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Dalam ayat
tersebut Allah menyebut kata ‘rabbani’, lantas apa makna kata tersebut?
Penjelasan kata robbani dapat ditelusuri dalam Ilmu Tafsir Al Imam Ibnu Jarir
Ath Thabari. Beliau menjelaskan bahwa seorang yang Robbani harus memiliki 5
hal.
1. ‘Alim dan Mutsaqqaf
Seorang
Robbani haruslah seorang yang berilmu dan berwawasan. Ada semangat belajar yang
kuat di dalam dirinya. Ia akan dapat tergerak dengan asma Allah lalu
mensyiarkannya. Seorang Robbani tidak hanya akan pandai untuk dirinya seorang,
namun juga dapat memandaikan orang. Tidak hanya bergerak dalam keilmuan, namun
juga menggerakkan. Tidak hanya hidup dalam keilmuan, namun juga menghidupi.
Tidak hanya berjuang dalam keilmuan, namun juga memperjuangkan.
Lantas, ilmu
apa yang wajib dipelajari? Ilmu Allah. Soal dikotomi duniawi ukhrawi, Imam
Ghazali berpendapat, “Boleh jadi fiqh itu ilmu duniawi. Dan boleh jadi
kedokteran dan ilmu pertekstilan adalah ilmu akhirat.”
Bagaimana logikanya? Mungkin
memperhatikan kondisi zamannya, Al Ghazali mengambil contoh pembahasan tentang
zhihar. Ketika seorang suami mengucapkan “Engkau bagiku seperti punggung
ibuku!” pada istrinya. Di masa jahiliah status istri menjadi tidak jelas. Tapi
di masa Islam, zhihar jelas ketentuannya di QS Al-Mujadilah. Pembahasan
berpelik-pelik, kalau begini, kalau begitu, yang dilakukan para ahli fiqh di
masa itu bagi Al Ghazali hanyalah untuk mencari keuntungan duniawi.
Tetapi sebaliknuya, beliau melihat
bertapa minimnya dokter Muslim saat itu. Sehingga ketika seseorang berpenyakit
pencernaan sementara esok hari bulan Ramadhan tiba, kaum Muslimin beramai-ramai
meminta fatwa pada dokter Yahudi dan Nashrani. Ini ilmu akhirat, jangan sampai
diserahkan pada seorang yang bukan Muslim.
Nah demikian juga ilmu tekstil. Jika
menutup auratnya seorang Muslim menyerahkan jenis kain, model jahitan, dan trendnya
pada yang bukan Muslim hingga aurat tat tertutup sempurna, siapa yang berdosa?
Semua.
Berkorelasi juga dengan ilmu ekonomi. Jika semua orang melakukan transaksi dengan unsur ribawi, unsur gharar, dan unsur-unsur lain yang tidak dibolehkan dalam Islam, lantas wajibkah belajar ilmu ekonomi? Jika banyak orang pintar di dalam bidang ekonomi kemudian memaksakan sistem yang tidak Islami dalam bidang ekonomi, lantas siapakah yang salah? Semua.
Berkorelasi juga dengan ilmu ekonomi. Jika semua orang melakukan transaksi dengan unsur ribawi, unsur gharar, dan unsur-unsur lain yang tidak dibolehkan dalam Islam, lantas wajibkah belajar ilmu ekonomi? Jika banyak orang pintar di dalam bidang ekonomi kemudian memaksakan sistem yang tidak Islami dalam bidang ekonomi, lantas siapakah yang salah? Semua.
2. Faqih
Apa bedanya
‘Alim dengan Faqih? Dalam kata-kata Imam Asy Syafi’I, “Kalian, para ahli
hadits, adalah apoteker. Kami, para ahli fiqh, adalah dokter.” Apoteker
mempunyai ilmu tentang obat, tetapi tidak memahami kondisi pasien. Dan oleh
karena itu, dia tidak memiliki otoritas menentukan terapi bagi kesembuhan mereka.
Demikian pula bagi Imam Asy Syafi’I, berpegang hanya pada teks seperti lazimnya
Ahli Hadits berbuat akan membuat repot pasien, yakni ummat.
Diperlukan seorang dokter, seorang
Faqih, yang dengan keluasan waswasan dan pemahaman kondisi, mengetahui seluk-beluk
organ dan interaksi kimianya, bias merumuskan satu resep, satu fatwa yang
tepat. Diperlukan kolaborasi antara ‘Alim dan Faqih dalam memecahkan
permasalahan umat. Perlu orang ‘Alim dalam bidang ekonomi serta orang Faqih
dalam bidang ekonomi.
Seorang yang Robbani, mencoba untuk
melihat apa yang ada di balik sesuatu, mendengarkan yang tak terucapkan, dan
menilai dari berbagai sisi yang tak selalu linier. Seorang ‘Alim mungkin saja
lahir dari ruang berisi buku-buku, tetapi seorang Faqih muncul di tengah orang
ramai yang menghadapi banyak persoalan.
3. Al Bashirah bis Siyasah
Seorang Robbani, memiliki kedalaman
pandangan tentang politik. Politik Islam adalah seni mengelola urusan publik
agar manusia merasa indah beribadah dan mampu menjadikan setiap aktivitas
mereka sebagai ibadah. Dia mampu mengelola sebuah kebijakan yang membuat orang
kaya merasa terjamin hartanya dan gembira menunaikan kewajibannya. Kebijakan
itu membuat orang miskin merasa tenteram sekaligus bersemangat dalam etos
kerja.
Seorang Ekonom Robbani, juga harus
dapat memadukan antara pengetahun ekonomi dengan kedalaman politik. Mampu
mengolaborasikannya dengan harmonis, dan mampu mementingkan kepentingan umat
daripada kepentingan pribadi ataupun golongan.
4. Al Bashirarh bit Tadbir
Serang yang Robbani juga memiliki
kedalaman pandangan dalam hal manajemen. Dia mempunyai visi yang kuat, atau
biasa dibilang dengan seorang yang visioner. Dia tahu bagaimana menempatkan
suatu sumber daya pada posisi yang tepat. Didasari hal inilah, mungkin Rasulullah
tidak pernah mengangkat Umar ibn Al Khattab menjadi komandan satuan pasukan
besar. Bukan dia tak mampu. Tetapi model seperti Umar akan mementingkan mencari
kematian syahadah daripada kemenangan pasukan yang dipimpinnya.
Khalid bin Walid berbeda. Saat dipecat dari kedudukan sebagai panglima ia berujar, “Kini aku bebas mencari kematian. Kemarin ketika menjadi panglima, tentu kupikirkan pasukanku. Kini aku berpikir tentang diriku sendiri, dan ia merindukan surga.” Kalau bukan karena dia panglima, Khalid mungkin tidak perlu mematahkan sampai 13 bilah pedang dalam perang Mut’ah.
Khalid bin Walid berbeda. Saat dipecat dari kedudukan sebagai panglima ia berujar, “Kini aku bebas mencari kematian. Kemarin ketika menjadi panglima, tentu kupikirkan pasukanku. Kini aku berpikir tentang diriku sendiri, dan ia merindukan surga.” Kalau bukan karena dia panglima, Khalid mungkin tidak perlu mematahkan sampai 13 bilah pedang dalam perang Mut’ah.
Demikian
juga, pandangan tajam manajerial Nabi membuat beliau langusng menunjuk ‘Amr bin
Al ‘Ash beberapa saat sesudah dia masuk Islam untuk menjadi komandan satuan
yang di dalamnya bergabung para sahabat senior termasuk Abu Bakr dan Umar.
Malamnya, saat mereka berkemah, tiba-tiba Amr memerintahkan semua memadamkan
api.
Umar
tersinggung. Terlihat olehnya pasukan itu kedinginan, dan beberapa yang lain
sedang memasak makanan. “Tidak, jangan matikan apinya!”, seru Umar. Abu Bakr
yang ada di sampingnya langsung menegur, “Wahai Umar, dia pemimpin yang
ditunjuk Rasulullah untuk kita. Taatlah pada Allah, RasulNya, dan pemimpinmu!”
Umar masih menggerutu. Tetapi beberapa saat kemudian dia menuyadari Amr benar.
Bunyi ringkik dan tapak kaki kuda patroli musuh, ratusan agaknya, terdengan
begitu mengerikan. Tetapi kafilah patrol itu lewat saja. Maka Abu Bakr pun
tersenyum padanya.
Hari
berikutnya, Amr memerintahkan pasukannya berhenti di luar pekampungan kabilah
yang akan diserang. “Aku akan masuk. Jika aku tak kembali hingga mentari
tergelincir, kalian serbulah ke dalam!” Umar protes lagi. “Jika kau ingin
syahid, kami semua juga! Tetaplah kita bersama!” Dengan lirikan, kembali Abu
Bakr mengingatkan Umar. Dan Umar pun patuh. Beberapa waktu kemudian, Amr telah
kembali bersama pemimpin kabilah yang telah masuk Islam bersama pengikutnya,
atas diplomasi Amr. Kabilah itu tunduk, tanpa setetes darah pun tertumpah.
Seandainya jadi Abu Bakr mungkin saat itu kita akan berkata pada Umar, “Nah.
Gua bilang juga apa?”
5. Al Qiyam bis Su-nir Rai’yah li Mashlahatid
Dunya wa Diin
Poin ini
adalah implementasi dari poin ketiga dan keempat. Kata kuncinya adalah
kepedulian kepada kepentingan publik. Seorang yang Robbani memiliki peran dalam
menegakkan kepentingan masyarakat banyak dalam kerangka kebaikan dunia dan
agama. Ada advokasi, ada penyantunan, ada pelayanan, ada peningkatan
kesejahteraan, dan ada kebijakan yang membuka peluang-peluang kebaikan.
Tidak hanya kepentingan pribadi yang
didahulukan, melainkan mementingkan kepentingan bersama untuk kemashlahatan
dunia dan akhirat. Seorang Robbani akan terus melakukan amal jama’i atau kerja
sama dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Itulah orang-orang Robbani yg
tergambar dalam Q.S Al-Hajj: 41 (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Sudahkah
kita menjadi seorang yang Rabbani…?
Wallahu
A’lam