Kamis, 24 Desember 2015

URGENSI KELOMPOK STUDI EKONOMI ISLAM



URGENSI KELOMPOK STUDI EKONOMI ISLAM
Oleh :Jabbar Sambudi ll Presnas FoSSEI


“Seperti halnya perintah Allah swt kepada Nabi Muhammad dalam wahyu yang dibawakan Jibril, “Iqra!.” Bacalah! Seru Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. “Sungguh aku tidak mampu membacanya.” Begitu jawaban Sang Nabi. Dan percakapan tersebut berulang hingga 3 kali sampai Jibril as berseru kepada Nabi Muhammad saw, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu.” Dan kisah ini telah diabadikan oleh Allah dalam Q.S Al-‘Alaq: 1-5.”

Perintah Allah yang pertama adalah seruan untuk membaca. Jika diperluas, bahwa seruan pertama agar manusia dapat berpikir. Membaca fenomena alam, membaca kekuasaan Allah dengan cara berpikir. Itulah tugas pertama umat manusia dilahirkan di muka bumi, untuk membaca dan berpikir. Karena dengan berpikir inilah Nabi Ibrahim menemukan kebenaran. Nabi Ibrahim mengira bahwa Bulan adalah Tuhannya, namun ternyata masih ada cahaya yang lebih daripada bulan. Nabi Ibrahim mengira bahwa Matahari adalah Tuhannya, namun ternyata Matahari terbit dan terbenam. Kemudian Nabi Ibrahim bertafakkur, bahwa Tuhannya adalah Dzat yang menciptakan Bulan dan Matahari.
Jadi, sebelum beribadah dan menjadi khalifatullah, manusia diseru untuk berpikir agar dapat membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Dengan demikian manusia dapat beribadah dan menjadi khalifatullah seutuhnya. Bukan menuhankan pikiran dan akal, namun mengomparasi antara akal dan ayatullah untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Demikianlah perintah “Iqra!” yang ditujukan kepada manusia.
Dalam konteks Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI), perintah “Iqra!” ini juga harus diejawantahkan. Dengan membaca dan berpikirlah kita dapat membedakan haq dan bathil. Maka, Ruh dari sebuah KSEI adalah KAJIAN. Kenapa dengan kajian? Ya karena dengan kajian, kita ‘dipaksa’ untuk membaca, ‘dipaksa’ untuk berdiskusi, dan ‘dipaksa’ untuk menulis.
Runtutnya adalah demikian, kita banyak membaca, dari hasil bacaan kemudian didiskusikan, dan hasil diskusi kemudian ditulis ulang. Demikianlah yang dimaksud dengan kajian. Kajian bukan berarti hanya ‘mendengarkan’ orang yang berbicara dalam sebuah kegiatan yang kita sebut dengan kajian. Itu namanya mendengarkan ceramah bukan mengkaji. Mengkaji itu ketika kita sudah dapat ilmunya dari buku-buku, kemudian didiskusikan dalam sebuah kegiatan, dan lebih baiknya lagi adalah menulis kembali.
Setiap orang itu mempunyai kaliber. Ada yang kalibernya tingkat internasional, nasional, provinsi, kabupaten, atau bahkan kalibernya cuma desa. Kalau kita sebut (alm) Wahbah Zuhaili, kita semuanya tentu tahu siapa beliau, nah kaliber beliau ini berarti sudah internasional. Kalau kita sebut Adiwarman Karim, kita di Indonesia pasti juga tahu, nah berarti kaliber beliau itu sudah menasional. Dan setiap orang mempunyai masing-masing kaliber. Kaliber itu ditentukan atas 3 hal: pengalaman, pengetahuan, dan wawasan. Semakin banyak pengalaman, pengetahuan dan wawasan, maka kaliber seseorang juga semakin besar.
Pengetahuan itu didapat dari membaca, diskusi dan menulis. Maka, ayo kita perbanyak membaca, diskusi dan menulis. Dan ketiga hal tersebut terhimpun dalam satu kata, yaitu “mengkaji” alias melakukan “kajian.” Itu kita baru berbicara satu aspek, pengetahuan. Dan pengetahuan tidak hanya didapat dari bangku kelas, banyak pengetahuan yang kita dapatkan di luar kelas. Itulah fungsi KSEI, menambah pengetahuan kader-kadernya.
Kembali ke topik utama, Ruh dari sebuah KSEI adalah kajian. Ketika sebuah KSEI tidak ada kajian, maka berarti KSEI tersebut telah kehilangan ruhnya. Maka himbauannya, minimal sepekan sekali KSEI harus melakukan kajian. Pengurus di top management harus memberikan contoh dengan banyak membaca, yang kemudian selanjutnya dapat menghimbau pengurus yang lain untuk banyak membaca. Selanjutnya, lakukan diskusi secara berkala. Nah, jika sepekan sekali dilaksanakan yang demikian, KSEI tersebut dapat berkualits, Sumber Daya Insani juga dapat berkualitas, dan secara makro kita mendorong Indonesia juga berkualitas. Sekali lagi, ruh dari sebuah KSEI adalah kajian.
Jangan diperbanyak agenda yang sifatnya extravaganza. Bagaiman itu? KSEI membuat seminar nasional atau internasional, tapi panitia yang membuatnya malah ga tahu apa yang dibicarakan oleh pembicara. Coba kita rubah mindset, jika indikator suksesnya seminar adalah banyaknya peserta dan lancaranya acara, bagaimana jika indikator suksesnya seminar adalah lebih mengertinya panitia dan peserta tentang isi seminar? Rubah mindset, dan jadilah orang yang berkualitas.
Ini bukan berarti melarang membuat seminar, bukan itu point utamanya. Tapi rubahlah mindset, dan mengertilah tentang arti dari sebuah seminar tersebut. Hanya orang penting yang tahu akan kepentingan, dan hanya pejuang yang tahu makna sebuah perjuangan. Jadi, cukupkan agenda yang sifatnya extravaganza, dan kembalikan kepada hal yang fundamental.
Ingat! Organisasi kita itu namanya Kelompok Studi Ekonomi Islam. Dan seharusnya, nama organisasi itu mencerminkan rentetan program organisasi tersebut. Maka, memang dan sudah menjadi sebuah keharusan bahwa agenda utama KSEI adalah studi, alias belajar atau kajian. Jadi, jika kegiatan utamanya (kajian) tidak ada, maka silahkan rubah nama saja.
Selanjutnya, dalam merespon sebuah isu, terdapat dua pendekatan, yaitu direct dan indirect. Direct adalah pendekatan secara langsung, sedangkan indirect adalah pendekatan secara tidak langsung. Isu yang sedang hangat sekarang misalnya adalah kasus freeport. KSEI harus merespon isu tersebut secara direct atau langsung. Pendekatan secara direct dilakukan dengan membentuk kajian tentang freeport, menulis opini tentang freeport, melakukan diskusi tentang freeport, dan semuanya dikupas tuntas dalam tajuk kajian.
Pendekatan kedua adalah dengan cara indirect atau tidak langsung. Dalam merespon isu freeport ini dapat dilaksanakan dengan membangun sistem kaderisasi yang baik. Inti dari kaderisasi adalah melahirkan kader-kader yang militan dan berkualitas. Jika sistem kaderisasinya baik, maka kita sudah menyiapkan manusia-manusia yang berkualitas untuk 10-30 tahun yang akan datang. Dengan manusia yang berkualitas, maka dapat dipastikan, masalah layaknya freeport tidak akan terulang kembali. Demikianlah urgentnya sebuah sistem kaderisasi yang baik.
Kaderisasi ini dibentuk agar para kader mempunyai jiwa kepemimpinan yang mumpuni, mempunyai karakter yang unggul, dan mempunyai militan yang kuat terhadap nilai-nilai agama Islam. Dan kawah pembentukan Sumber Daya Insani yang unggul itulah berada pada tugas kaderisasi. Kebenaran yang tidak sistemiik, akan dapat dikalahkan oleh kebathilan yang sistemik.
Simpelnya, urgensi dari Kelompok Studi Ekonomi Islam adalah kajian dan kaderisasi. Kedua hal tersebut adalah komponen utama dalam merespon isu yang berkembang. Jika asumsi kader FoSSEI setiap tahunnya adalah 1.500 orang, dengan kajian dan kaderisasi yang baik, maka kita sudah menyiapkan generasi-generasi yang militan yang siap membumikan ekonomi Islam.
Jadilah lidi-lidi perjuangan yang kuat. KSEI ibarat sebuah lidi. Jika lidi tersebut rapuh, maka bagaimana kita dapat menyapu kebathilan di halaman rumah kita? Maka, dibutuhkan tidak hanya satu lidi yang kuat, namun juga dibutuhkan puluhan hingga ratusan lidi yang kuat. Dan lidi tersebut tidaklah berguna jiika bekerja sendirian, dibutuhkan kerja sama dalam konteks amal jamai. Itulah fungsi FoSSEI, mengikat lidi-lidi yang kuat dalam satu ikatan, bersama-sama berjuang dalam membersihkan kebathilan yang ada. “Al Haqqu min Rabbika, fa laa takunanna minal mumtariin.”
Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar