URGENSI KELOMPOK STUDI EKONOMI ISLAM
Oleh :Jabbar Sambudi ll Presnas FoSSEI
Oleh :Jabbar Sambudi ll Presnas FoSSEI
“Seperti halnya perintah Allah swt kepada Nabi
Muhammad dalam wahyu yang dibawakan Jibril, “Iqra!.” Bacalah! Seru Malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad saw. “Sungguh aku tidak mampu membacanya.” Begitu jawaban
Sang Nabi. Dan percakapan tersebut berulang hingga 3 kali sampai Jibril as
berseru kepada Nabi Muhammad saw, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah
menciptakanmu.” Dan kisah ini telah diabadikan oleh Allah dalam Q.S Al-‘Alaq:
1-5.”
Perintah Allah yang pertama adalah
seruan untuk membaca. Jika diperluas, bahwa seruan pertama agar manusia dapat
berpikir. Membaca fenomena alam, membaca kekuasaan Allah dengan cara berpikir.
Itulah tugas pertama umat manusia dilahirkan di muka bumi, untuk membaca dan berpikir.
Karena dengan berpikir inilah Nabi Ibrahim menemukan kebenaran. Nabi Ibrahim
mengira bahwa Bulan adalah Tuhannya, namun ternyata masih ada cahaya yang lebih
daripada bulan. Nabi Ibrahim mengira bahwa Matahari adalah Tuhannya, namun
ternyata Matahari terbit dan terbenam. Kemudian Nabi Ibrahim bertafakkur, bahwa
Tuhannya adalah Dzat yang menciptakan Bulan dan Matahari.
Jadi, sebelum beribadah dan menjadi
khalifatullah, manusia diseru untuk berpikir agar dapat membedakan mana yang
haq dan mana yang bathil. Dengan demikian manusia dapat beribadah dan menjadi
khalifatullah seutuhnya. Bukan menuhankan pikiran dan akal, namun mengomparasi
antara akal dan ayatullah untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Demikianlah
perintah “Iqra!” yang ditujukan kepada manusia.
Dalam konteks Kelompok Studi Ekonomi
Islam (KSEI), perintah “Iqra!” ini juga harus diejawantahkan. Dengan membaca
dan berpikirlah kita dapat membedakan haq dan bathil. Maka, Ruh dari sebuah
KSEI adalah KAJIAN. Kenapa dengan kajian? Ya karena dengan kajian, kita
‘dipaksa’ untuk membaca, ‘dipaksa’ untuk berdiskusi, dan ‘dipaksa’ untuk
menulis.
Runtutnya adalah demikian, kita
banyak membaca, dari hasil bacaan kemudian didiskusikan, dan hasil diskusi
kemudian ditulis ulang. Demikianlah yang dimaksud dengan kajian. Kajian bukan
berarti hanya ‘mendengarkan’ orang yang berbicara dalam sebuah kegiatan yang
kita sebut dengan kajian. Itu namanya mendengarkan ceramah bukan mengkaji.
Mengkaji itu ketika kita sudah dapat ilmunya dari buku-buku, kemudian
didiskusikan dalam sebuah kegiatan, dan lebih baiknya lagi adalah menulis
kembali.
Setiap orang itu mempunyai kaliber.
Ada yang kalibernya tingkat internasional, nasional, provinsi, kabupaten, atau
bahkan kalibernya cuma desa. Kalau kita sebut (alm) Wahbah Zuhaili, kita
semuanya tentu tahu siapa beliau, nah kaliber beliau ini berarti sudah
internasional. Kalau kita sebut Adiwarman Karim, kita di Indonesia pasti juga
tahu, nah berarti kaliber beliau itu sudah menasional. Dan setiap orang
mempunyai masing-masing kaliber. Kaliber itu ditentukan atas 3 hal: pengalaman,
pengetahuan, dan wawasan. Semakin banyak pengalaman, pengetahuan dan wawasan,
maka kaliber seseorang juga semakin besar.
Pengetahuan itu didapat dari
membaca, diskusi dan menulis. Maka, ayo kita perbanyak membaca, diskusi dan
menulis. Dan ketiga hal tersebut terhimpun dalam satu kata, yaitu “mengkaji”
alias melakukan “kajian.” Itu kita baru berbicara satu aspek, pengetahuan. Dan
pengetahuan tidak hanya didapat dari bangku kelas, banyak pengetahuan yang kita
dapatkan di luar kelas. Itulah fungsi KSEI, menambah pengetahuan
kader-kadernya.
Kembali ke topik utama, Ruh dari
sebuah KSEI adalah kajian. Ketika sebuah KSEI tidak ada kajian, maka berarti
KSEI tersebut telah kehilangan ruhnya. Maka himbauannya, minimal sepekan sekali
KSEI harus melakukan kajian. Pengurus di top management harus memberikan contoh
dengan banyak membaca, yang kemudian selanjutnya dapat menghimbau pengurus yang
lain untuk banyak membaca. Selanjutnya, lakukan diskusi secara berkala. Nah, jika
sepekan sekali dilaksanakan yang demikian, KSEI tersebut dapat berkualits,
Sumber Daya Insani juga dapat berkualitas, dan secara makro kita mendorong
Indonesia juga berkualitas. Sekali lagi, ruh dari sebuah KSEI adalah kajian.
Jangan diperbanyak agenda yang
sifatnya extravaganza. Bagaiman itu? KSEI membuat seminar nasional atau
internasional, tapi panitia yang membuatnya malah ga tahu apa yang dibicarakan
oleh pembicara. Coba kita rubah mindset, jika indikator suksesnya seminar
adalah banyaknya peserta dan lancaranya acara, bagaimana jika indikator
suksesnya seminar adalah lebih mengertinya panitia dan peserta tentang isi
seminar? Rubah mindset, dan jadilah orang yang berkualitas.
Ini bukan berarti melarang membuat
seminar, bukan itu point utamanya. Tapi rubahlah mindset, dan mengertilah
tentang arti dari sebuah seminar tersebut. Hanya orang penting yang tahu akan
kepentingan, dan hanya pejuang yang tahu makna sebuah perjuangan. Jadi,
cukupkan agenda yang sifatnya extravaganza, dan kembalikan kepada hal yang
fundamental.
Ingat! Organisasi kita itu namanya
Kelompok Studi Ekonomi Islam. Dan seharusnya, nama organisasi itu mencerminkan
rentetan program organisasi tersebut. Maka, memang dan sudah menjadi sebuah
keharusan bahwa agenda utama KSEI adalah studi, alias belajar atau kajian.
Jadi, jika kegiatan utamanya (kajian) tidak ada, maka silahkan rubah nama saja.
Selanjutnya, dalam merespon sebuah
isu, terdapat dua pendekatan, yaitu direct dan indirect. Direct adalah
pendekatan secara langsung, sedangkan indirect adalah pendekatan secara tidak
langsung. Isu yang sedang hangat sekarang misalnya adalah kasus freeport. KSEI
harus merespon isu tersebut secara direct atau langsung. Pendekatan secara
direct dilakukan dengan membentuk kajian tentang freeport, menulis opini
tentang freeport, melakukan diskusi tentang freeport, dan semuanya dikupas
tuntas dalam tajuk kajian.
Pendekatan kedua adalah dengan cara
indirect atau tidak langsung. Dalam merespon isu freeport ini dapat
dilaksanakan dengan membangun sistem kaderisasi yang baik. Inti dari kaderisasi
adalah melahirkan kader-kader yang militan dan berkualitas. Jika sistem
kaderisasinya baik, maka kita sudah menyiapkan manusia-manusia yang berkualitas
untuk 10-30 tahun yang akan datang. Dengan manusia yang berkualitas, maka dapat
dipastikan, masalah layaknya freeport tidak akan terulang kembali. Demikianlah
urgentnya sebuah sistem kaderisasi yang baik.
Kaderisasi ini dibentuk agar para
kader mempunyai jiwa kepemimpinan yang mumpuni, mempunyai karakter yang unggul,
dan mempunyai militan yang kuat terhadap nilai-nilai agama Islam. Dan kawah
pembentukan Sumber Daya Insani yang unggul itulah berada pada tugas kaderisasi.
Kebenaran yang tidak sistemiik, akan dapat dikalahkan oleh kebathilan yang
sistemik.
Simpelnya, urgensi dari Kelompok
Studi Ekonomi Islam adalah kajian dan kaderisasi. Kedua hal tersebut adalah
komponen utama dalam merespon isu yang berkembang. Jika asumsi kader FoSSEI
setiap tahunnya adalah 1.500 orang, dengan kajian dan kaderisasi yang baik,
maka kita sudah menyiapkan generasi-generasi yang militan yang siap membumikan
ekonomi Islam.
Jadilah lidi-lidi perjuangan yang
kuat. KSEI ibarat sebuah lidi. Jika lidi tersebut rapuh, maka bagaimana kita
dapat menyapu kebathilan di halaman rumah kita? Maka, dibutuhkan tidak hanya
satu lidi yang kuat, namun juga dibutuhkan puluhan hingga ratusan lidi yang
kuat. Dan lidi tersebut tidaklah berguna jiika bekerja sendirian, dibutuhkan
kerja sama dalam konteks amal jamai. Itulah fungsi FoSSEI, mengikat lidi-lidi
yang kuat dalam satu ikatan, bersama-sama berjuang dalam membersihkan
kebathilan yang ada. “Al Haqqu min Rabbika, fa laa takunanna minal mumtariin.”
Wallahu
A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar